Sejauh ini
kita telah mengetahui perbedaan-perbedaan yang diametral antara paradigma yang
mendasari ekonomi konvensional dengan paradigma yang mendasari ekonomi islami.
Keduanya tidak mungkin dan tidak akan pernah mungkin untuk dikompromikan,
karena masing-masingnya didasarkan atas pandangan-dunia (weltanschauung)
yang berbeda. Ekonomi konvensional melihat ilmu sebagai sesuatu yang sekuler
(berorientasi hanya pada kehidupan duniawi--kini dan di sini,) dan sama
sekali tidak memasukkan Tuhan serta tanggung jawab manusia kepada Tuhan di
akhirat dalam bangun pemikirannya. Karena itu ilmu ekonomi konvensional menjadi
bebas nilai (positivistik). Sementara itu, ekonomi islami justru dibangun atas,
atau paling tidak diwarnai oleh, prinsip-prinsip relijius (berorientasi pada
kehidupan dunia—kini dan di sini—dan sekaligus kehidupan akhirat—nanti dan di
sana).
Dalam
tataran paradigma seperti ini, ekonom-ekonom muslim tidak menghadapi masalah
perbedaan pendapat yang berarti. Namun ketika mereka diminta untuk menjelaskan
apa dan bagaimanakah konsep ekonomi islami itu, mulai muncullah perbedaan
pendapat. Sampai saat ini, pemikiran ekonom-ekonom muslim kontemporer dapat
kita klasifikasikan setidaknya menjadi tiga mazhab, yakni:
Mazhab
Baqir as-Sadr
Mazhab mainstream;
dan
Mazhab
Alternatif-kritis
Mazhab
Baqir as-Sadr
Mazhab ini
dipelopori oleh Baqir as-Sadr dengan bukunya yang fenomenal: Iqtishaduna
(ekonomi kita). Mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi (economics)
tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan Islam tetap
Islam. Keduanya tidak akan pernah dapat disatukan, karena keduanya berasal dari
filosofi yang saling kontradiktif. Yang satu anti-Islam, yang lainnya Islam.
Menurut
mereka, perbedaan filosofi ini berdampak pada perbedaan cara pandang keduanya
dalam melihat masalah ekonomi. Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul
karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber daya yang
tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut jumlahnya terbatas. Mazhab
Baqir menolak pernyataan ini, karena menurut mereka, Islam tidak mengenal
adanya sumber daya yang terbatas. Dalil yang dipakai adalah Al-Qur’an :
"Sungguh
telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya"
Dengan
demikian, karena segala sesuatunya sudah terukur dengan sempurna, sebenarnya
Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia di dunia.
Pendapat
bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas juga ditolak. Contoh: Manusia akan
berhenti minum jika dahaganya sudah terpuaskan. Karena itu, mazhab ini berkesimpulan
bahwa keinginan yang tidak terbatas itu tidak benar sebab pada kenyataannya
keinginan manusia itu terbatas. (Bandingkan pendapat ini dengan teori Marginal
Utility, Law of Diminishing Returns, dan Hukum Gossen dalam ilmu ekonomi!)
Mazhab Baqir
berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya distribusi yang tidak
merata dan adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi
pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap
sumber daya sehingga menjadi sangat kaya, sementara yang lemah tidak memiliki
akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu masalah
ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena
keserakahan manusia yang tidak terbatas.
Karena itu
menurut mereka, istilah ekonomi islami adalah istilah yang bukan hanya
tidak sesuai dan salah, tapi juga menyesatkan dan kontradiktif, karena itu
penggunaan istilah ekonomi islami harus dihentikan. Sebagai gantinya,
ditawarkan istilah baru yang berasal dari filosofi islam, yakni iqtishad. Menurut
mereka, iqtishad bukan sekedar terjemahan dari ekonomi. Iqtishad
berasal dari kata bahasa Arab qasd yang secara harfiah berarti
"ekuilibrium" atau "keadaan sama, seimbang atau
pertengahan".
Sejalan
dengan itu, maka semua teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi konvensional
ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya mazhab ini berusaha untuk menyusun
teori-teori baru dalam ekonomi yang langsung digali dan dideduksi dari
al-Qur’an dan As-Sunnah.
Tokoh-tokoh
mazhab ini selain Muhammad Baqir as-Sadr adalah Abbas Mirakhor, Baqir
al-Hasani, Kadim as-Sadr, Iraj Toutounchian, Hedayati, dll.
Mazhab
Mainstream
Mazhab
Mainstream berbeda pendapat dengan mazhab Baqir. Mazhab kedua ini justru setuju
bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan
pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Memang benar misalnya, bahwa total
permintaan dan penawaran beras di seluruh dunia berada pada titik ekuilibrium.
Namun jika kita berbicara pada tempat dan waktu tertentu, maka sangat
mungkin terjadi kelangkaan sumber daya. Bahkan ini yang seringkali terjadi.
Suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh misalnya tentu lebih langka
dibandingkan di Thailand. Jadi keterbatasan sumber daya memang ada, bahkan diakui
pula oleh Islam. Dalil yang dipakai adalah :
"Dan
sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang
yang sabar"
Sedangkan
keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal yang alamiah.
Dalilnya:
"Bermegah-megahan
telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah begitu,
kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)"
Dan sabda
Nabi Muhammad SAW bahwa manusia tidak akan pernah puas. Bila diberikan emas
satu lembah, ia akan meminta emas dua lembah. Bila diberikan dua lembah, ia
akan meminta tiga lembah dan seterusnya sampai ia masuk kubur.
Dengan
demikian, pandangan mazhab ini tentang masalah ekonomi hampir tidak ada bedanya
dengan pandangan ekonomi konvensional. Kelangkaan sumber dayalah yang menjadi
penyebab munculnya masalah ekonomi. Bila demikian, di manakah letak perbedaan
mazhab mainstream ini dengan ekonomi konvensional?
Perbedaannya
terletak dalam cara menyelesaikan masalah tersebut. Dilema sumber daya yang
terbatas versus keinginan yang tak terbatas memaksa manusia untuk melakukan
pilihan-pilihan atas keinginannya. Kemudian manusia membuat skala prioritas
pemenuhan keinginan, dari yang paling penting sampai yang paling tidak penting.
Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan
berdasarkan selera pribadi masing-masing. Manusia boleh mempertimbangkan
tuntutan agama, boleh juga mengabaikannya. Dalam bahasa al-Qur’annya, pilihan dilakukan
dengan "mempertuhankan hawa nafsunya". Tetapi dalam ekonomi islami,
keputusan pilihan ini tidak dapat dilakukan semaunya saja. Perilaku manusia
dalam setiap aspek kehidupannya—termasuk ekonomi—selalu dipandu oleh Allah
lewat al-Qur’an dan Sunnah.
Tokoh-tokoh
mazhab ini di antaranya M.Umer Chapra, M.A. Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, dll.
Mayoritas bekerja di Islamic Development Bank (IDB). Yang memiliki dukungan
dana dan akses ke berbagai negara sehingga penyebaran pemikirannya dapat
dilakukan dengan cepat dan mudah. Mereka adalah para doktor di bidang ekonomi
yang belajar (dan ada juga yang mengajar) di universitas-universitas barat.
Karena itu, mazhab ini tidak pernah membuang sekaligus teori-teori ekonomi
konvensional ke keranjang sampah.
Umer Chapra
misalnya berpendapat bahwa usaha mengembangkan ekonomi islami bukan berarti
memusnahkan semua hasil analisis yang baik dan sangat berharga yang telah
dicapai oleh ekonomi konvensional selama lebih dari seratus tahun terakhir.
Mengambil
hal-hal yang baik dan bermanfaat yang dihasilkan oleh bangsa dan budaya non
islam sama sekali tidak diharamkan. Nabi bersabda bahwa hikmah/ilmu itu bagi
umat islam adalah ibarat barang yang hilang. Di mana saja ditemukan, maka umat
muslimlah yang paling berhak mengambilnya. Catatan sejarah umat muslim
memperkuat hal ini. Para ulama dan ilmuwan muslim banyak meminjam ilmu dari
peradaban lain seperti Yunani, India, Persia, Cina, dll. Yang bermanfaat
diambil, yang tidak bermanfaat dibuang, sehingga terjadi transformasi ilmu
dengan diterangi cahaya Islam.
Mazhab
Alternatif-Kritis
Pelopor
mazhab ini adalah Timur Kuran (Ketua Jurusan Ekonomi di University of Southern
California), Jomo (Yale, Cambridge, Harvard, Malaya), Muhammad Arif, dll.
Mazhab ini mengkritik kedua mazhab sebelumnya. Mazhab Baqir dikritik sebagai
mazhab yang berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah
ditemukan oleh orang lain. Menghancurkan teori lama, kemudian menggantinya
dengan teori baru. Sementara mazhab mainstream dikritiknya sebagai jiplakan
dari ekonomi neoklasik dengan menghilangkan variabel riba dan memasukkan
variabel zakat serta niat.
Mazhab ini
adalah sebuah mazhab yang kritis. Mereka berpendapat bahwa analisis kritis
bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga
terhadap ekonomi islami itu sendiri. Mereka yakin bahwa Islam pasti benar,
tetapi ekonomi islami belum tentu benar karena ekonomi islami adalah hasil
tafsiran manusia atas al-Qur’an dan Sunnah, sehingga nilai kebenarannya tidak
mutlak. Proposisi dan teori yang diajukan oleh ekonomi islami harus selalu
diuji kebenarannya sebagai mana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional.
terimakasih atas tulisannya,, semoga bermanfaat.
BalasHapus